Senin, 14 Juni 2010

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN
SINDROMA NEFROTIK
I. Definisi
 Sindrom nefrotik adalah kumpulan gejala klinis yang timbul dari kehilangan protein karena kerusakan glomerulus yang difus. (Luckmans, 1996 : 953).
 Sindrom nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria, hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia kadang-kadang terdapat hematuria, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal. (Ngastiyah, 1997).
II. Etiologi
Sebab penyakit sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-antibodi. Umumnya para ahli membagi etiologinya menjadi:
1. Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Gejalanya adalah edema pada masa neonatus. Sindrom nefrotik jenis ini resisten terhadap semua pengobatan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah pencangkokan ginjal pada masa neonatus namun tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.




2. Sindrom nefrotik sekunder
Disebabkan oleh:
 Malaria kuartana atau parasit lain.
 Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.
 Glumeronefritis akut atau glumeronefritis kronis, trombisis vena renalis.
 Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan lebah, racun oak, air raksa.
 Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif hipokomplementemik.
3. Sindrom nefrotik idiopatik ( tidak diketahui sebabnya )
Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churg dkk membagi dalam 4 golongan yaitu: kelainan minimal,nefropati membranosa, glumerulonefritis proliferatif dan glomerulosklerosis fokal segmental.
 Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala yang muncul pada anak yang mengalami Sindrom nefrotik adalah:
1. Oedem umum ( anasarka ), terutama jelas pada muka dan jaringan periorbital.
2. Proteinuria dan albuminemia.
3. Hipoproteinemi dan albuminemia.
4. Hiperlipidemi khususnya hipercholesterolemi.
5. Lipid uria.
6. Mual, anoreksia, diare.
7. Anemia, pasien mengalami edema paru.
 Klasifikasi
Whaley dan Wong (1999 : 1385) membagi tipe-tipe sindrom nefrotik:
1. Sindrom Nefrotik Lesi Minimal ( MCNS : minimal change nephrotic syndrome).
Kondisi yang sering menyebabkan sindrom nefrotik pada anak usia sekolah. Anak dengan sindrom nefrotik ini, pada biopsi ginjalnya terlihat hampir normal bila dilihat dengan mikroskop cahaya.
2. Sindrom Nefrotik Sekunder
Terjadi selama perjalanan penyakit vaskuler seperti lupus eritematosus sistemik, purpura anafilaktik, glomerulonefritis, infeksi system endokarditis, bakterialis dan neoplasma limfoproliferatif.
3. Sindrom Nefrotik Kongenital
Factor herediter sindrom nefrotik disebabkan oleh gen resesif autosomal. Bayi yang terkena sindrom nefrotik, usia gestasinya pendek dan gejala awalnya adalah edema dan proteinuria. Penyakit ini resisten terhadap semua pengobatan dan kematian dapat terjadi pada tahun-yahun pertama kehidupan bayi jika tidak dilakukan dialysis.

III. Patofisiologi
Kelainan yang terjadi pada sindrom nefrotik yang paling utama adalah proteinuria sedangkan yang lain dianggap sebagai manifestasi sekunder. Kelainan ini disebabkan oleh karena kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus yang sebabnya belum diketahui yang terkait dengan hilannya muatan negative gliko protein dalam dinding kapiler. Pada sindrom nefrotik keluarnya protein terdiri atas campuran albumin dan protein yang sebelumnya terjadi filtrasi protein didalam tubulus terlalu banyak akibat dari kebocoran glomerolus dan akhirnya diekskresikan dalam urin. (Husein A Latas, 2002 : 383).
Pada sindrom nefrotik protein hilang lebih dari 2 gram perhari yang terutama terdiri dari albumin yang mengakibatkan hipoalbuminemia, pada umumnya edema muncul bila kadar albumin serum turun dibawah 2,5 gram/dl. Mekanisme edema belum diketahui secara fisiologi tetapi kemungkinan edema terjadi karena penurunan tekanan onkotik/ osmotic intravaskuler yang memungkinkan cairan menembus keruang intertisial, hal ini disebabkan oleh karena hipoalbuminemia. Keluarnya cairan keruang intertisial menyebabkan edema yang diakibatkan pergeseran cairan. (Silvia A Price, 1995: 833).
Akibat dari pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri menurun dibandingkan dengan volume sirkulasi efektif, sehingga mengakibatkan penurunan volume intravaskuler yang mengakibatkan menurunnya tekanan perfusi ginjal. Hal ini mengaktifkan ystem rennin angiotensin yang akan meningkatkan konstriksi pembuluh darah dan juga akan mengakibatkan rangsangan pada reseptor volume atrium yang akan merangsang peningkatan aldosteron yang merangsang reabsorbsi natrium ditubulus distal dan merangsang pelepasan hormone anti diuretic yang meningkatkan reabsorbsi air dalam duktus kolektifus. Hal ini mengakibatkan peningkatan volume plasma tetapi karena onkotik plasma berkurang natrium dan air yang direabsorbsi akan memperberat edema. (Husein A Latas, 2002: 383).
 Skema :
























Pohon Masalah :


IV. Manifestasi Klinis .
 Berat badan meningkat
 Pembengkakan pada wajah, terutama di sekitar mata
 Edema anasarka
 Pembengkakan pada labia / skotum
 Asites
 Diare, nafsu makan menurun, absorbsi usus menurun  edema pada mukosa usus
 Volume urine menurun, kadang – kadang berwarna pekat dan berbusa
 Kulit pucat
 Anak menjadi iritabel, mudah lelah / letargi
 Celulitis, pneumonia, peritonitis atau adanya sepsis
 Azotemia
 TD biasanya normal / naik sedikit

V. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
 Urine
Volume biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguria). Warna urine kotor, sediment kecoklatan menunjukkan adanya darah, hemoglobin, mioglobin, porfirin.


 Darah
Hemoglobin menurun karena adanya anemia. Hematokrit menurun. Natrium biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi. Kalium meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel darah merah). Klorida, fosfat dan magnesium meningkat.
2. Biopsi ginjal di lakukan untuk memperkuat diagnosa.
VI. Penatalaksanan
1. Diperlukan tirah baring selama masa edema parah yang menimbulkan keadaan tidak berdaya dan selama infeksi yang interkuten. Juga dianjurkan untuk mempertahankan tirah baring selama diuresis jika terdapat kehilangan berat badan yang cepat.
2. Diit. Pada beberapa unit masukan cairan dikurangi menjadi 900 sampai 1200 ml/ hari dan masukan natrium dibatasi menjadi 2 gram/ hari. Jika telah terjadi diuresis dan edema menghilang, pembatasan ini dapat dihilangkan. Usahakan masukan protein yang seimbang dalam usaha memperkecil keseimbangan negatif nitrogen yang persisten dan kehabisan jaringan yang timbul akibat kehilangan protein. Diit harus mengandung 2-3 gram protein/ kg berat badan/ hari. Anak yang mengalami anoreksia akan memerlukan bujukan untuk menjamin masukan yang adekuat.
3. Perawatan kulit. Edema masif merupakan masalah dalam perawatan kulit. Trauma terhadap kulit dengan pemakaian kantong urin yang sering, plester atau verban harus dikurangi sampai minimum. Kantong urin dan plester harus diangkat dengan lembut, menggunakan pelarut dan bukan dengan cara mengelupaskan. Daerah popok harus dijaga tetap bersih dan kering dan scrotum harus disokong dengan popok yang tidak menimbulkan kontriksi, hindarkan menggosok kulit.
4. Perawatan mata. Tidak jarang mata anak tertutup akibat edema kelopak mata dan untuk mencegah alis mata yang melekat, mereka harus diswab dengan air hangat.
5. Kemoterapi:
 Prednisolon digunakan secra luas. Merupakan kortokisteroid yang mempunyai efek samping minimal. Dosis dikurangi setiap 10 hari hingga dosis pemeliharaan sebesar 5 mg diberikan dua kali sehari. Diuresis umumnya sering terjadi dengan cepat dan obat dihentikan setelah 6-10 minggu. Jika obat dilanjutkan atau diperpanjang, efek samping dapat terjadi meliputi terhentinya pertumbuhan, osteoporosis, ulkus peptikum, diabeters mellitus, konvulsi dan hipertensi.
 Jika terjadi resisten steroid dapat diterapi dengan diuretika untuk mengangkat cairan berlebihan, misalnya obat-abatan spironolakton dan sitotoksik ( imunosupresif ). Pemilihan obat-obatan ini didasarkan pada dugaan imunologis dari keadaan penyakit. Ini termasuk obat-obatan seperti 6-merkaptopurin dan siklofosfamid.
1. Penatalaksanaan krisis hipovolemik. Anak akan mengeluh nyeri abdomen dan mungkin juga muntah dan pingsan. Terapinya dengan memberikan infus plasma intravena. Monitor nadi dan tekanan darah.
2. Pencegahan infeksi. Anak yang mengalami sindrom nefrotik cenderung mengalami infeksi dengan pneumokokus kendatipun infeksi virus juga merupakan hal yang menganggu pada anak dengan steroid dan siklofosfamid.
3. Perawatan spesifik meliputi: mempertahankan grafik cairan yang tepat, penimbnagan harian, pencatatan tekanan darah dan pencegahan dekubitus.
4. Dukungan bagi orang tua dan anak. Orang tua dan anak sering kali terganggu dengan penampilan anak. Pengertian akan perasan ini merupakan hal yang penting. Penyakit ini menimbulkan tegangan yang berta pada keluarga dengan masa remisi, eksaserbasi dan masuk rumah sakit secara periodik. Kondisi ini harus diterangkan pada orang tua sehingga mereka mereka dapat mengerti perjalanan penyakit ini. Keadaan depresi dan frustasi akan timbul pada mereka karena mengalami relaps yang memaksa perawatan di rumah sakit.



ASUHAN KEPERAWATAN SINDROMA NEFROTIK
I. PENGKAJIAN
 Mengkaji adanya retensi cairan dan ekskresinya
 Mengkaji intake & output.
 Mengkaji integritas kulit
 Melakukan pengukuran lingkar abdomen dan menimbang BB.
 Mengkaji adanya edema
 Memonitor tanda-tanda vital
II. DAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan volume cairan : lebih dari kebutuhan tubuh b/d akumulasi cairan pada jaringan tubuh.
Tujuan : Gejala akumulasi cairan tidak terjadi.
Kriteria hasil : Tidak ada edema, tidak menunjukan gejala kelebihan cairan.
Intervensi :
1. Mengkaji, mencatat, intake, dan output
Rasional :menilai keseimbangan intake dan output
2. Menimbang BB
Rasional : mengkaji adanya retensi cairan.
3. Mengkaji perubahan pada edema
Rasional : mengetahui perubahan fisik klien.
4. Mengukur lingkar abdomen
Rasional : mengkaji adanya asites.
5. Memonitor edema disekitar mata dan daerah yang edema
Rasional : menilai tanda dan gejala yang di timbulkan.
6. Tes Bj urine, dan albumin
Rasional : Hyperalbuminuria adalah manifestasi pada SN.
7. Tampung urine untuk keperluan laboratorium
Rasional : mengetahui secara pasti kondisi penyakit.
8. Kolaborasi pemberian kortikosteroid sesuai kebutuhan
Rasionalisasi : Untuk mengurangi eksresi protein dalam urine
9. Kolaborasi pemberian diuretic jika di indikasikan
Rasional : mengurangi edema .
10. Berikan cairan dengan hati-hati
Rasional : Agar klien tidak menerima cairan berlebihan.
11. Monitor infus intravena
Rasional : Mempertahankan intake
12. Pertahankan bibir basah dengan memberikan minyak / madu
Rasional : Memberikan kenyamanan dan mencegah bibir pecah-pecah
2. Perubahan pola napas b/d penurunan ekspansi paru.
Tujuan : pola nafas menjadi adekuat.
Kriteria Hasil : Frekuensi dan kedalaman nafas dalam batas normal.
Intervensi :
1.Observasi TTV
Rasional : mengetahui kelainan secara dini.
2.pantau adanya gangguan bunyi nafas
Rasional : mengetahui kelainan pola nafas.
3.Beri posisi semi fowler
Rasional : meningkatkan kenyamanan klien.
3. Perubahan Nutrisi Kurang dari Kebutuhan b/ d anoreksia
Tujuan: di harapkan kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria Hasil :
 tdk terjadi mual dan muntah.
 menunjukkn masukan yg adekuat
 mempertahankan berat badan
Intervensi :
1) tanyakan makanan kesukaan klien.
Rasional : identifikasi kebiasaan nutrisi klien.
2) anjurkan keluarga utk mendampingi anak pd saat makan.
Rasional : meningkatkan semangat makan klien.
3) berikan makanan sedikit tapi sering.
Rasional : memenuhi kebutuhan makan klien.
4) beri informasi pada keluarga tentang diet klien.
Rasional : dapat memperhatikan diet yg di anjurkan demi kesehatan klien.





4. Gangguan integritas kulit b/ d hipoksia jaringan.
Tujuan : di harapkan tdk terjadi kerusakan integritas kulit.
Kriteria hasil :
 integritas kulit dapat terpelihara.
 Tdk terjadi kerusakan kulit.
Intervensi :
 inspeksi selurah permukaan kulit dari seluruh kerusakan kulit
Rasional : Mengetahui kelainan kulit secara dini.
 Berikan bedak untuk melindungi kulit
Rasional : meningkatkan rasa nyaman bagi klien.
 Ubah posisi tidur setiap 4 jam.
Rasional :mencegah atrofi kulit
 Gunakan alas yang lunak untuk mengurangi penekanan pada kulit
Rasional : mecncegah penekanan pada kulit yg berkepanjangan dan kerusakan.
5. Resiko tinggi deficit volume cairan (intravaskuler)/d kehilangan cairan dan protein.
Tujuan : Akan menunjukan tidak adanya kejadian kehilangan cairan intravaskular atau syok hipovolemik.
Kriteria. hasil : Tanda – tanda syok hipovolemik tidak ada.
Intervensi :
1. Monitor tanda-tanda vital
Rasional : mendeteksi tanda-tanda fisik dari penurunan cairan.
2. Laporkan kejadian-kejadian yang tidak normal
Rasional : Mempercepat tindakan perawatan
6.Resti infeksi b /d menurunnya imunitas.
Tujuan : Infeksi tidak terjadi
Kriteria hasil : Tanda-tanda infeksi tidak ada, tanda2 vital dlm batas normal,leukosit dalam batas normal.
Intervensi
 Gunakan tehnik aseptic pada setiap tindakan
Rasional : menghindari resiko terkena infeksi.
 Pantau adanya tanda-tanda infeksi
Rasional :mengetahui dan merencanakan tindakan mengobati.
 Anjurkan keluarga untuk menjaga kebersihan klien.
Rasional : mencegah kontaminasi dengan lingkungan yg kotor.
 Monitor temperature
Rasional :deteksi awal dari infeksi.
 Kolaborasi pemberian antibiotic.
Rasional : Menunjang penyembuhan dan kesehatan klien.





III.EVALUASI
Keefektifannya ditentukan oleh pengkajian ulang yang terus menerus dan evaluasi dari perawatan yang telah dilakukan dan kriteria hasilnya
 Monitor tanda vital dan kaji kulit dari infeksi
 Mengukur intake dan output dan memeriksa urin  albumin
 Mengkaji nafsu makan
 Mengobservasi dan berdiskusi dengan klien dan keluarga tentang pengertian mereka mengenai penyakitnyua dan tindakan.tindakan medis lainnya.














Daftar pustaka
Brunner & Suddarth. 2003. Medical Surgical Nursing (Perawatan Medikal Bedah), alih bahasa: Monica Ester. Jakarta : EGC.
Carpenito, L. J.1999. Hand Book of Nursing (Buku Saku Diagnosa Keperawatan), alih bahasa: Monica Ester. Jakarta: EGC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar